Translate

Minggu, 23 November 2014

Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua



Disma Yulynda PB 2012/122074242
Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
            Terdapat lima strategi dalam pemerolehan bahasa kedua, yakni: Strategi pertama, Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.
            Strategi kedua, ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat dan objek-objek yang bergerak dan berubah. Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak. Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak.
            Strategi ketiga, bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa dan fungsinya.  Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif.
            Strategi keempat, Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
            Strategi kelima, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.

Minggu, 16 November 2014

Faktor – faktor Pemerolehan Bahasa Kedua



Disma Yulynda
PB 2012 / 122074242
Faktor – faktor Pemerolehan Bahasa Kedua
Menurut Baradja (1994:3 – 12) terdapat enam faktor yang perlu diperhatikan secara cermat, yaitu (1) tujuan, (2) pembelajar (3) pengajar, (4) bahan, (5) metode, dan (6) faktor lingkungan. Meski demikian, faktor tujuan, pembelajar dan pengajar merupakan tiga faktor utama. Dari ketiga faktor ini pemerolehan bahasa kedua mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang menyangkut pembeajar dan proses belajar. Pembelajar, sebagai faktor yang paling utama, mengetahui dengan pasti mengapa dia mempelajari bahasa kedua. Jawaban atas pertanyaan “mengapa” inilah yamerupakan wujud tujuan belajar bahasa kedua. Pengajar merupakan pihak yang membantu pembelajar. Dalam kondisi tertentu, kehadirannya dapat digantikan oleh buku teks, tape recorder, film, atau yang lain.
Berkaitan dengan proses pembelajaran, perlu diperhatikan dua hal: belajar bahasa merupakan usaha individual dan guru sebaiknya menempatkan diri sebagai mitra belajar. Belajar sesuai usaha individual berarti bahwa setiap siswa meenempuh cara, gaya, tenik, atau strategi masing-masing dalam memecahkan masalah kebahasaan. Gur sebagai mitra artinya bahwa guru harus mengenal betul masalah yang dihadapi siswanya. Disamping itu, guru harus memberi rasa aman kepada siswa dalam belajar dan mencoba.
Berkaitan dengan pembelajaran, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembelajar bahasa kedua adalah individu yang unik. Hasil penelitian para ahli menunjukkan beberapa keunikan yang berpengaruh pada proses pemerolehan bahasa kedua: umur dan keperibadian.

Rabu, 12 November 2014

Metode Historis dalam Filsafat Bahasa : Kajian Fonem



`Disma Yulynda
PB 2012 / 122074242
                                                            FONEM

            Metode historis dapat digunakan untuk mengkaji fonem. Buku yang digunakan sebagai buku acuan adalah buku karya Soejono Dardjowidjojo dkk yang berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka dan terbit sebanyak tiga edisi. Dari ketiga edisi tersebut, buku yang digunakan sebagai acuan adalah buku cetakan kedua dari edisi pertama yang terbit bulan Desember tahun 1988 dan edisi ketiga cetakan pertama yeng terbit tahun 2000. Selain menggunakan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, buku Linguistik Umum karya Abdul Chaer yang terbit tahun 2003 dan karya Masnur Muslich tentang Fonologi Bahasa Indonesia yang terbit tahun 2008.
            Pengertian fonem menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia mengalami perubahan pada edisi pertama dan edisi ketiga. Pada edisi pertama, fonem didefinisikan sebagai bunyi bahasa yang berbeda atau mirip. Sedangkan pada edisi ketiga yang merupakan edisi revisi, definisi fonem mengalami perubahan. Pengertian fonem berubah menjadi bunyi bahasa minimal yang membedakan bentuk dan makna kata. Menurut Abdul Chaer dalam buku Linguistik Umum, fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang membedakan makna. Sedangkan Masnur Muslich dalam buku Fonologi Bahasa Indonesia, fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna.
            Edisi pertama dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip. Bunyi bahasa yang harus dibedakan dari tulisan. Bunyi bahasa yang dihasilkan manusia bermacam-macam. Ada yang membedakan arti, ada yang tidak. Bunyi [p] pada kata pagi diucapkan tidak sama dengan [p] pada kata siap karena [p] pada siap diucapkan dengan kedua bibir tertutup, sedangkan pada kata pagi bunyi [p] ini harus dilepas untuk bergabung dengan bunyi [a]. Perbedaan pelafalan itu tidak menimbulkan arti.
            Sedangkan pada edisi revisi menyebutkan pengertian fonem yang lebih kompleks. Fonem adalah bunyi bahasa minimal yang berfungsi membedakan bentuk dan makna. Bentuk tiap bunyi bahasa memang mempunyai perbedaan bentuk penulisan dan pelafalannya. Selain itu, fungsi pembeda makna dimiliki oleh fonem. Fonem mempunyai fungsi pembeda makna, misalnya pada Pola - /pola/ : bola /bola/ Dari kedua kata tersebut, ada dua fonem yang mempunyai fungsi sebagai pembeda makna, yaitu /p/ dan /b/. Prosedur atau cara yang digunakan untuk menemukan fonem-fonem yang ada dalam suatu bahasa disebut fonemisasi. Ada tiga cara untuk mencari fonem, yaitu cara pasangan minimal, distribusi komplementer dan variasi bebas. Cara mencari fonem yang umum digunakan adalah menggunakan metode pasangan minimal. Pasangan minimal adalah seperangkat kata yang memiliki jumlah fonem yang sama, juga jenis fonem yang sama, kecuali satu fonem yang berbeda pada urutan yang sama, sedangkan arti kata-kata tersebut berbeda.     
            Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Linguistik Umum mengemukakan pendapat bahwa Fonem itu adalah bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi sebagai pembeda makna dua satuan bahasa. Untuk memperjelas maksud dari pengertian fonem yang dikemukakan Abdul chaer, saya memberikan contoh dalam bahasa Indonesia seperti kata ‘baru’ dan ‘bahu’ yang masing-masing terdiri dari empat buah bunyi, dan perbedaannya hanya pada bunyi ke tiga, yakni [r] dan [h]. Maka dapat disimpulkan bahwa bunyi [r] dan [h] adalah dua fonem yang berbeda di dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [r] dan fonem [h].
            Fonologi Bahasa Indonesia menurut Masnur Muslich menyebutkan pengertian fonem merupakan kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk membedakan kesatuan bunyi terkecil mana yang berfungsi membedakan makna adalah dengan melakukan pembuktian secara empiria, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Jika kita membandingkan kata pagi dengan bagi, kita tahu bahwa bunyi [p] dan [b] membedakan kedua kata tersebut. demikian pula dengan pasangan seperti tua-dua, kita-gita, pola-pula dan pita-peta. Satuan terkecil dari ciri-ciri bunyi bahasa yang membedakan arti dinamakan fonem. Bunyi [p] dan [b] dalam contoh di atas adalah dua fonem. Perkataan pagi, kita dan pola masing-masing terdiri atas empat fonem. Berdasarkan konvensi fonem ditulis di antara tanda garis miring: /pagi/ , /kita/ , /pola/.
            Jadi, kesimpulannya adalah fonem merupakan kesatuan bunyi bahasa terkecil yang mempunyai fungsi membedakan makna. Dari tahun 1988 dalam buku Soejono Dardjowidjojo dkk yang berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia cetakan kedua dari edisi pertama yang terbit bulan Desember, fonem didefinisikan sebagai bunyi bahasa yang berbeda atau mirip. Sedangkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi ketiga cetakan pertama yeng terbit tahun 2000, definisi fonem mengalami perubahan menjadi bunyi bahasa minimal yang membedakan bentuk dan makna kata. Pada tahun 2003 dalam buku Linguistik Umum karya Abdul Chaer, fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang membedakan makna. Tahun 2008 dalam buku Fonologi Bahasa Indonesia, fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna.
             


Sumber Buku:
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono, dkk. 1988. Tata bahasa baku bahasa indonesia(edisi       pertama). Jakarta: Balai pustaka
Dardjowidjojo, Soenjono, dkk. 2000. Tata bahasa baku bahasa indonesia(edisi       ketiga). Jakarta: Balai pustaka
Muslich, Mansur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem     Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Askara

Metode Kritis dalam Filsafat Bahasa : Kajian Fonem



Disma Yulynda
PB 2012/122074242

Metode Kritis: Fonem


            Dalam kajian fonemik, istilah fonem juga dibicarakan. Bahwa fonem merupakan bunyi bahasa  terkecil yang dapat atau berfungsi membedakan arti. Telaah tentang fonem inilah yang dikatakan fonemik. Karena bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara kita itu banyak ragamnya, bunyi-bunyi itu dikelompok-kelompokkan ke dalam unit-unit yang disebut fonem. Fonem inilah yang dijadikan  objek penelitian fonemik. Jadi, tidak seluruh bunyi bahasa yang bisa dihasilkan oleh alat bicara dipelajari oleh fonemik. Bunyi-bunyi bahasa yang fungsional yang menjadi kajian fonemik.
            Fonem merupakan bunyi bahasa yang tidak berfungsi membedakan makna. Pada definisi sebelumnya fonem disebut sebagai kesatuan bunyi terkecil yang berfungsi membedakan makna. Apakah semua bunyi berfungsi membedakan makna? Tidak. Dalam kajian fonetik yang mengkaji fon menyebutkan bahwa bunyi-bunyi yang konkret dan tidak berfungsi membedakan makna disebut sebagai fon. Karena fon merupakan satuan bahasa yang bersifat konkret. Fon itu dapat didengar dan dapat diucapkan. Karena itu, di samping fon, digunakan juga istilah bunyi.
            Apakah Fon merupakan bunyi-bunyi yang bersifat konkret dan realisasi dari fonem? Lingustik dikenal dengan istilah alofon yang disebut variasi fonem yang tidak membedakan bentuk dan arti kata. Alofon adalah bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari fonem. Kalau diperhatkan bahwa alofon merupakan realisasi dari fonem maka dapat dikatakan bahwa fonem bersifat abstrak karena fonem itu hanyalah abstraksi dari alofon atau alofon-alofon lain. Dengan kata lain yang nyata dalam bahasa adalah alofon bukan fon.
Fonem merupakan satuan bahasa terkecil yang bersifat abstrak dan mampu menunjukkan kontras makna atau abstraksi dari satu atau sejumlah fon. Karena bersifat abstrak, fonem bukanlah satuan bahasa yang tidak nyata. Untuk mengetahui sebuah bunyi adalah fonem atau bukan, kita harus mencari pasangan minimal, yaitu dua buah bentuk yang bunyinya mirip dan hanya sedikit berbeda.
            Makna bunyi hanya ada dalam fonemik (fonologi) dengan demikian berdasarkan ada tidaknya makna bunyi (fon) maka fonologi dibagi atas fonetik dan fonemik. Fonetik mengkaji bunyi (fon) tanpa menghiraukan apakah bunyi itu bermakna atau tidak. Sedang fonemik mengkaji bunyi yang bermakna saja (fonem).
            Fon merupakan bunyi-bunyi yang kongkret, bunyi-bunyi yang diartikulasikan (diucapkan) atau bentuk kongkret dari sebuah fonem. Dalam hal ini, fonem merupakan wujud abstrak yang direalisasikan menjadi fon. Selain itu ada pula alofon. Alofon merupakan suatu fonem (anggota suatu fonem) yang tidak membedakan arti. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya adalah […].